Dear All,
Sesudah pekan olah raga nasional
(PON) 1948 di Solo, kota Solo mengalami peristiwa yang kemudian ternyata suatu
permulaan keributan besar “Pemberontakan PKI”. Dipimpin Muso dikota Madiun.
Di zaman Revolusi memang kota
Solo terkenal sebagai kota “ruwet”, walaupun tampaknya keluar saban malam
pertunjukan Sriwedari dimana masyarakat penuh bergembira ria. Tapi dibelakang
tabir poltik berjalan pertentangan pertentangan antara partai golongan “Murba”
(antara lain anggotanya GRR dan barisan Banteng) dengan partai-partai dari
golongan FDR (Front Demokrasi Rakyat terdiri dari PKI, partai buruh, Pesindo
dan lain-lain).
Keduanya menamakan diri sebagai
partai kiri anti imperialis. Pertentangannya antara lain soal pro dan anti
Linggarjati. Selain itu juga pertentangan antara pimpinannya. Pertentangan ini
nampak, misalnya dengan adanya perang pamflet GRR dan Banteng yang berbunyi :
“Awas waspada kawan, Hijroh tidak memusuhi rakyat kawan, Hijroh membasmi penghianat, penjual negara (Amir Setiadjid dan CS nya). Tertanda Barisan Banteng.
“Awas waspada kawan, Hijroh tidak memusuhi rakyat kawan, Hijroh membasmi penghianat, penjual negara (Amir Setiadjid dan CS nya). Tertanda Barisan Banteng.
Pamflet lain berisi, Siapakah
pentjulik2nya Dr Muwardi ?. (Hijroh adalah istilah untuk pasukan Siliwangi yang
hijrah ke Jawa Tengah pada tahun 1948. FDR adalah kelanjutan kekuatan sayap
kiri penguasa pemerintah 1946-1947 dibawah kabinet Sjahrir dan Amir. Mereka
merupakan kekuatan politik yang menyelenggarakan perundingan Indonesia-Belanda
antara lain dalam perundingan Linggarjati dan Renville.
Dr Muwardi adalah pimpinan
barisan Banteng yang diculik dan tidak diketahui rimbanya sampai sekarang).
Maka terjadilah kegiatan culik menculik dan pembunuhan. Konflik menjadi melebar
ketika kesatuan tentara simpatisan masing-masing kelompok melakukan tembak
menembak. Isu-isu yang muncul misalnya : Tentara hijrah Siliwangi kena
provokasi ? FDR ?, GRR ?, Provokasi anasir-anasir kanan reaksioner. Baru ketika
Madiun meletus (September 1948), pemerintah dapat melihat keadaan sebenarnya
dengan jelas dan tegas. PKI Muso mengadakan pemberontakan yang kejam dan
berbahaya.
Para pemimpin mereka merupakan
tokoh sayap kiri yang kemudian membentuk FDR, yaitu Wikana, Maruto Darusman,
Alimin, Muso, Amir Sjarifudin, Abdul Madjid, Setiadjid. Sebenarnya
pemberontakan kaum PKI (pimpinan Muso dan Amir) dari Madiun bisa dipandang
sebagai suatu konsekwensi yang meletus karena oposisi yang runcing antara Amir
cs, sejak ia jatuh dari kabinet pemerintahan dan diganti oleh Hatta dengan
bantuan Masyumi dan PNI. Oposisi Amir cs, makin hari makin tajam.
Dimana-mana terjadi demonstrasi
dan pemogokan. Agitasi poitik sangat mempertajam pertentangan politik dalam
negeri. Ketika Muso datang dari luar negeri dan bergabung dengan Amir cs, maka
politik PKI-FDR makin dipertajam, maka meletuslah peristiwa Madiun tersebut. Mr
Amir Sjarifudin adalah seorang pemimpin rakyat yang “brilliant”. Rupanya
bersama dengan golongannya, tak dapat sabar menahan kekalah politiknya didalam
pemerintahan. Ia jatuh dan menilik gelagatnya, ta’kan dapat segera tegak
kembali dalam pimpinan pemerintahan dan pimpinan Revolusi. Ia berkeliling berpidato,
dan partainya beragitasi.
Tanah-tanah bengkok desa
dibagikan. Sering rakyat dan tentara dihasut untuk melawan pemerintah Hatta.
Pemerintah dituduhnya terus mengalah pada kaum kapitalis-reaksioner. Segala
usaha dilakukan untuk menjatuhkan pemerintahan kabinet Hatta.
Ketika pemberontakan meletus,
pemerintah tidak tinggal diam. Presiden Soekarno berpidato pada tanggal 19
September 1948 untuk menghantam dan menghancurkan pengacau-penbacau negara.
Kekuasaan negara kemudian dipusatkan ditangan Presiden dan segala alat negara
digerakkan untuk menindas pemberontakan itu.
Pemberontakan Madiun disebutkan
Bung Karno : “Suatu tragedi nasional pada saat pemerintah RI dan rakyat dengan
segala penderitaan, sedang menghadapi lawan Belanda, maka ditusuklah dari
belakang perjuangan nasional yang maha hebat ini. Tenaga nasional, tenaga
rakyat terpecah, terancam dikacau balaukan.
Pemerintah daerah Madiun,
tiba-tiba dijatuhkan dengan kekerasan dan pembunuhan2, Pemerintah “merah”
didirikan dengan Gubernur Militernya bernama “pemuda Sumarsono” dan dari kota Madiun
pemberontakan diperintahkan kemana-mana. Bendera merah dikibarkan sebagai
bendera pemberontakannya.
Oleh pemerintah pusat segera
dilakukan tindakan-tindakan untuk memberantas pemberontakan dan kekacauan.
Pasukan TNI digerakkan ke Madiun. Dilakukan penangkapan terhadap pengikut
PKI-Muso. Ternyata banyak ditemui, rakyat yang tidak menyokong aksi PKI-Muso
tersebut. Juga banyak ditemui pengikut FDR tidak menyetujui aksi melawan
pemerintah yang secara kejam itu. Namun perusakan dan pembunuhan itu telah terjadi
serta tidak dapat dicegah. TNI yang datang ke Madiun, menyaksikan itu semua
dengan sedih dan ngeri .
Maka Presiden melalui corong
radio RRI berseru : “Tidak sukar bagi rakyat, “Pilih Sukarno Hatta atau Muso
dengan PKI nya”. Tentara yang bergerak ke Madiun, mendapat bantuan rakyat
sepenuhnya Dan Pemerintah mendapat pernyataan setia dari mana-mana. Dari Jawa
dan Sumatera. Ahirnya pada tanggal 30 September 1948, kota Madiun dapat direbut
kembali oleh TNI.
Para pemberontak banyak yang
tertangkap. Sejumlah pengacau langsung dapat diadili ditempat secara militer.
Didaerah lain seperti didaerah Purwodadi, Pati, Bojonegoro, Kediri dan
sebagainya, cabang-cabang pemberontak dapat ditindas. Berminggu-minggu pemimpin
pemberontak serta pasukannya dikejar terus.
Ahirnya mereka tertangkap juga.
Muso sendiri terbunuh dalam tembak menembak ketika hendak ditangkap disebuah
desa dekat Ponorogo. Setelah keadaan aman, pemerintah memperingati
korban-korban yang telah jatuh karena pemberontakan Madiun. Dari TNI gugur sebanyak
159 orang anggauta-anggautanya selaku pembela negara.
(diambil dari tulisan pada buku
“LUKISAN REVOLUSI RAKYAT INDONESIA” 1945-1949. yang diterbitkan oleh
Kementerian Penerangan Republik Indonesia pada bulan Desember 1949).
Foto-foto
Seputar penangkapan para 'petualang' PKI Madiun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar